Rabu, 26 Juni 2019

VOC menuju kebangkrutan XI

 

Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan.
Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal berhasil diungguli. Kerajaan-kerajaan
itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan
yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung
Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempah￾rempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang
bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat
pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga
semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang
timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai
pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, sehingga
tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga
kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda
mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa
tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas”
yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali
Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja
juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian VOC berada
di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah
Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus
tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk
memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntunganya semakin
merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar
dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah
dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga semakin feodal. Pada tanggal 24 Juni
1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi
untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua
orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat
tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan
warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal
Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini
mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda,
hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran
gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia kuda yang menarik
kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para
pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu
ini juga membebani anggaran.
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap
tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan
para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal
ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi
VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon
menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada
tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan.
Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden
dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. Untuk
menjadi karyawan VOC juga harus dengan menyogok. Pengurus VOC di
Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai
onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman
hanya f.40,-), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan begitu
seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga. Demikianlah para
pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan
kemewahan sesaat. Beban utang VOC semakin berat, sehingga akhirnya
VOC sendiri bangkrut. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari
Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (Taufik Abdullah dan
A.B. Lapian (ed), 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian
pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan
roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah
bangkrut, oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan
bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh
pemerintah. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral VOC yang terakhir
Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia
Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar