Rabu, 26 Juni 2019

VOC semakin merajalela XI

 

Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst
(1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang
baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini
berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada
awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan
seperti telah djelaskan di atas, orang-orang Belanda di bawah pimpinan
Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk
membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para
penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat
kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai
menampakkan sikap congkak, dan sombong. Setelah merasakan nikmatnya
tinggal di Nusantara dan menikmati keuntungannya yang melimpah dalam
berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai dan kadang-kadang
melakukan paksaan dan kekerasan. Hal ini telah menimbulkan kebencian
rakyat dan para penguasa lokal. Oleh karena itu, pada tahun 1618 Sultan
Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil
mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke
Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta pasukan Banten pada awal
tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian Jayakarta
sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur
Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal
yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya
dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen
mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan
laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Ternyata dalam
waktu singkat Jayakarta dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian
dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing￾puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan
di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama
Jayakarta.

J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang sangat bernafsu untuk memaksakan
monopoli. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia.
Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen berusaha
meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara. Cara-cara VOC untuk
meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
1. Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan
monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku.
2. Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian.
Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum
Pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil
pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan.
3. VOC sementara cukup menduduki tempat-tempat yang strategis.
4. VOC melakukan campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di
Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan
pelaksanaan monopoli. Dalam kaitan ini VOC memiliki daya tawar
yang kuat, sehingga dapat menentukan harga.
5. Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap
dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat,
kalau tidak mau baru diperangi.
Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan
di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negari Belanda. Ia
menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh
pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya
pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai
Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. Pada masa jabatan
yang kedua inilah terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung
ke Batavia.

Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis bagi VOC. Semua kebijakan
dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di
Batavia. Di samping itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi
penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menghubungkan
perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian
juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara
bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama,
maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin
strategis dalam perdagangan rempah-rempah.

VOC semakin serakah
dan bernafsu untuk
menguasai Nusantara yang
kaya rempah-rempah ini.
Tindakan intervensi politik
terhadap kerajaan-kerajaan
di Nusantara dan pemaksaan
monopoli perdagangan terus
dilakukan. Politik devide et
impera dan berbagai tipu
daya juga dilaksanakan
demi mendapatkan
kekuasaan dan keuntungan
sebesar-besarnya. Sebagai
contoh, Mataram yang
merupakan kerajaan kuat
di Jawa akhirnya juga dapat
dikendalikan secara penuh
oleh VOC. Hal ini terjadi
setelah dengan tipu muslihat
VOC, Raja Pakubuwana II

yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani
naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada tahun
1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa
berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia
bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil
menguasai Malaka setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun
1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan
Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian
timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun
1667. Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli
perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Sementara
jauh sebelum itu yakni tahun 1605 VOC sudah berhasil mengusir Portugis
dari Ambon. VOC menjadi berjaya setelah berhasil melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Untuk mengendalikan
pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan Pelayaran Hongi.

Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk memperkuat kebijakan
monopoli ini di setiap daerah yang dipandang strategis armada VOC
diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng
Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah
ada Benteng Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di
Makasar.
Dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaannya itu, ternyata
perhatian VOC juga sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah
yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya
juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai
ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armandanya rombongan Willem Janz
menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Irian pada tahun 1606.
Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616-
1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai
timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke
New Ireland. Dengan penemuan ini maka nama William diabadikan sebagai
nama kepulauan, Kepulauan Schouten. Pada waktu orang-orang Belanda
sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang
Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulau￾pulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan

Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC.
Dengan demikian daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di
seluruh Nusantara

Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang
itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan
pengaruh bahkan kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada
kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh
tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa
itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak
hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin
mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah
kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan.
Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah
dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan
dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah
yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan
Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Berangkat dari
motivasi untuk memperbaiki taraf kehidupan ekonomi kemudian meningkat
menjadi nafsu untuk menguasai dan mengeruk kekayaan dan keuntungan
sebanyak-banyaknya dari daerah koloni untuk kejayaan bangsanya sendiri.
Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan.
Sifat keangkuhan dan keserakahan telah menghiasi perilaku kaum penjajah.
Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha
Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang
yang berusaha untuk mencari untung tetapi juga ingin menanamkan
kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang
diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan
dan menguatkan akar kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Melalui
cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah
serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan,
semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh kemaharajaan

VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC
itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari
berbagai daerah misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar,
Makasar, dan Maluku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar